Ini tentang mawar.
Bunga yang cantik dan menawan ketika mekar.
Ia baik, pintar dalam menjaga diri.
Sayangnya, kepintarannya dalam menjaga diri kadang menyakiti orang lain..
Dengan duri dibatangnya, dengan senjata andalannya.
Disini, aku beku.
Rerintik hujan membekukan hatiku.
Kau memberiku payung untuk berlindung, dan kau berlindung bersama dibawah jaket kulitmu yang khas aroma tubuhmu.
Disini, aku beku.
Mataku. Beku.
Kau memberiku payung untuk berlindung, dan disana, kau memberi kehangatan kepada mata yang lain.
Semoga bukan aroma mawar yang tercium bersama lembabnya udara dingin sehabis hujan dari balik jaketmu.
Karena durinya sudah lama tertancap menyesakkan paru-paruku.
Namun, tampaknya, bunga favorit sang penyair adalah mawar.
Kelihatannya, kala hujan sang penyair enggan memalingkan pandangannya dari cantiknya mawar.
Kenapa?
Apa mawar itu simbol dari keromantisan dan feminisme?
Ahh, sayang....
apa hanya kontrasnya warna mawar itu? Sehingga bunga lain menjadi tenggelam bersama malam?
Lalu seseorang berceletuk.
"Belajarlah!"
Jangan bersedih.
Walaupun kau bukan bunga mawar, kau adalah kaktus. Bunga yang sangat indah, mampu bertahan dari gersangnya harapan, panasnya cemburu walau hanya dengan setetes perhatian yang membasahi akaranya.
Tapi ingatlah saat kaktus mekar, bahkan mawarpun akan layu.
Karena bunga kaktus mekar penuh perjuangan dan cinta darinya dan untuknya.
(Ditengah derasnya hujan, bersama Kakak yang sejatinya tak bisa diam (baca: Kak Agung Dewantara). Terimakasih sudah mau galau bersama!)