“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari
kemerdekaan kita.. hari merdeka, nusa dan bangsa.. hari lahirnya bangsa
Indonesia.. Meer..dee..kaaaa.. S’kali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih
dikandung badan.. Kita tetaaap..”
“Aduh, stop, stop, stooppp!! Aduh Inna.. kenapa harus
selalu kamu yang Ibu tegur? Sudah berapakali Ibu bilang, suara kamu itu
seharusnya..”
“Nnn..nneee.. Jjj..jjeongmal mianhanda..”
“Inna, 4 hari lagi kita akan tampil. Kalau begini
terus, kamu sebaiknya tidak usah..”
“Jangan bu, tolong beri saya satu kesempatan lagi..
saya janji, saya akan berusaha semaksimal yang saya bisa.. jebal..”
“Sudahlah, nak. Baik anak-anak, latihan kita hari ini
cukup sekian. Besok, seperti jam biasa, kita latihan lagi. Siap?”
“Siap, Bu!”
“Oke, sekarang kalian boleh pulang, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, Bu..”
xx
Terik.
Panas. Menyengat. Oke, tiga kata yang menggambarkan keadaan cuaca hari ini.
Begitu juga dengan perasaanku. Berapi-api. Menyala-nyala. Menggebu-gebu.
Sungguh.. hari ini itu.. aargh!
Pfft,
melelahkan.
Satu
minggu terakhir ini, jam makan siangku kuundur hingga 2 setengah jam. Biasanya,
jam segini aku sudah ada di kamar, mendengarkan lagu-lagu K-Pop kesukaanku, berbaring
di kasur empuk dan bercanda-ria dengan teman-temanku di Social Media, hingga
tertidur. Tapi untuk sekarang... mungkin aku harus absen dari kebiasaanku itu.
Hingga
17 Agustus nanti.
xx
“Hei
Inna, kamu kenapa? Kok sepanjang jalan ini mukanya kusam banget kayak jemuran
setengah kering? Biasanya kan..”
“Ah? Anio, gwaenchana,”
Aku menghela nafas.. dan menghembuskannya dengan pelan. Mengikuti kecepatan
angin yang sepoi-sepoi disekitarku.
“Aduh
Inna teh ngomong apa atuh, kagak ngerti nih..”
“Ohahahaha, mian
ne Di, aku nggak apa-apa kok hehe,” Aku menatap sobat sejatiku sembari
tertawa kecil. Ah, wajahnya yang polos akhirnya mampu membangkitkan beberapa
persen semangatku yang sempat drop tadi. Gomawoyo ne!
“Jangan
bohongin aku lah In, kalo wajahmu kusam begitu biasanya ada masalah. Kamu kayak
kita baru kenal dua puluh menit aja,” cowok berkacamata disampingku ini
sepertinya tidak layak lagi kusebut sobat sejati. Mungkin aku bisa menaikkan
derajatnya menjadi “Kakak Angkat” ku? Soalnya dia tau banget semua tentang aku.
Aku
tersenyum. “Kalo emang kita udah kenalan lebih dari duapuluh menit, mestinya
kamu juga tau dong kenapa wajahku bisa kayak gini.”
“Heumm..
iya deh coba kutebak dulu.. apa karena selama latihan ini kamu dimarahi terus
sama Bu Rissa?”
Wah,
serius nih udah cocok banget jadi kakak angkatku. Gak perlu diragukan lagi.
Aku
menghela nafas; dan mengangguk pelan. Ah, semangatku jadi drop lagi
kalau ingat kejadian tadi.
Si
kakak angkatku itu menatapku beberapa menit, ia lalu menggiringku di bawah
pohon.. ah entahlah pohon apa namanya. Kami berdua duduk di rerumputan hijau
yang bergiri-giri dan sebenarnya.. membuatku nggak nyaman. Tapi apa daya,
mungkin si kakak angkatku ini capek dan lelah, jadi yaa ikuti sajalah.
“Kenapa berhenti disini?” tanyaku; tanpa berbasa-basi
lagi. “Baegopayo. Aku lapar Di, bukan mau duduk,” sambungku.
Pandangan si kakak angkat enggan beralih padaku. Kini,
dengan senyum simpulnya, lensa matanya yang dilapisi dengan kacamata minus itu
memandang hamparan langit biru-muda dengan awan cumulus di
atas sana. Ya iya jelas di atas, nggak mungkin kan ada cumulusdi
bawah. Itu mah tanda-tanda kiamat.
“Inna,” nada rendah keluar dari bibir tipis si kakak
angkat. “Kamu tau nggak. Pejuang Indonesia itu.. cacian dan makian yang mereka
dapatkan sesungguhnya lebih pedis daripada apa yang kamu dapat tadi dari Bu
Rissa.”
Hah? Aduh kenapa dia jadi berlebihan gini sih ngomongnya?
Si kakak angkat menghela nafas. “Bahkan, Pejuang dari
negara kita ini, pernah disuruh kerja paksa, diperlakukan sewenang-wenang oleh
penjajah,” kini wajah putih terang si kakak angkat itu menghadap ke arahku.
“Tapi.. sekalipun disiksa sampai segitunya, mereka
nggak pernah tuh menampakkan wajah ala jemuran setengah kering,” ah, aku jadi
tertawa kecil mendengarnya mengatakan ini. Sekaligus jadi ngerasa juga kalo
sebenarnya dia ini lagi nyinggung aku.
“Karena mereka tau, keringat, darah, dan air mata
mereka itu nggak akan sia-sia. Dan pada akhirnya, senyum ketabahan dan
kesabaran yang selalu mereka pancarkan akhirnya membuahkan hasil yang kita
nikmati sekarang ini..”
Prokk..prok..prok..!! aku tersenyum lebar diikuti kedua tanganku yang saling
tepuk-menepuk beriringan dengan kicau burung yang sedang bersajak ria diatas
ranting pohon. Hihi, aku pikir burung itu juga terkesan dengan cerita si kakak
angkat. Ya, walaupun agak ‘lebay’ gimanaaa gitu kalau dikaitkan sama masalahku
tadi.
“Wajahnya udah nggak kusam lagi, kan?” tanya si kakak
angkat. Jelas nggak bisa ngelak! Dengan sigap aku langsung mengangguk senang.
“Percaya diri aja, Na. Lagu Indonesia Raya,
Mengheningkan Cipta, dan Hari Merdeka. Aku yakin kok, kalau giat berlatih, kamu
pasti bisa menyanyikannyadengan fasih!”
Aku menatap senyum lebar si kakak angkat disampingku.
Yak, seketika mengingatkanku pada gula pasir, hihihi.
“Aah, gomawoyo ne, Rudi! Makasih ya,
semangatku udah penuh nih! Yok kita makan!” Aku bangkit dari dudukku dan
menatap si kakak angkat—yang akrab kupanggil Rudi itu—dengan wajah
berseri-seri, serta senyum semanis mungkin. Yaa walau aku tau, senyumku ini
tidak semanis senyum si cantikBarbie. Lalu, Rudi pun ikut berdiri dan
dengan sigap menggendong ransel Exsport hitamnya.
“Okedeh, kita makan Coto Makassar aja ya! Abis itu
sushi! Trus setelah itu..”
“Eh anu, Rudi..”
“Hhm apalagi ya? Atau jangan sushi deh, gimana kalo
makanan penutupnya kebab aja? Atau kamu mau batagor? Atau..”
“Rud..”
“Ya, kenapa? Hmm.. kamu punya usul?”
“Engg.. nggak ada.. eh maksudku bukan gitu..”
“Trus? Kamu mau makan apa? Bakso? Bakpao? Atau mungkin
pizza?”
“Gini Rud, sebenarnya.. uang jajan aku udah abis.
Jadi, kita makan bekalku aja, ya? Kue beras buatan mamaku belum aku makan sama
sekali kok! Yayaya?”
xx
“Assalamu’alaikum.. Inna pulaaangg..”
“Wa’alaikumsalam.. Aah, eonni, annyeong!
Pasti capek banget, ya? Sini aku bawain tasnya..” Wah, baru juga masuk rumah,
udah disambut sama adik manisku tersayang.
Aku tersenyum dan mengacak pelan rambut dongsaengkesayanganku
ini. “Aduh,saeng-i baik banget sih, gomawoyo ne..”
Dengan senyum lebar dihiasi dengan dua buah gigi
kelinci didalam bibir merah mudanya, si imut ini mengangguk dan berlari santai
menuju kamarku.
Tanpa basa-basi lagi, langsung kuhempaskan tubuh
kurusku ini ke sofa hitam di ruang utama. Aku bernafas lega. Latihan hari ini
selesai. Sembari memutar bola mataku keatas langit-langit rumah yang bernuansa
natural, aku mulai menyusun sebuah kerangka; memikirkan cerita apa yang akan
terjadi besok. Apakah sama, lebih baik, atau bahkan lebih buruk dari hari ini?
Kita lihat saja nanti.
xx
“Indonesia raya, merdekaa, merdekaa.. tanahku, negriku
yang kucinta.. Indonesia raya, merdekaa, merdekaa.. hiduplah Indonesia raya..
Indonesia raya merdekaa, merdekaa..”
“Eonni..” Ups! Aah, gara-gara
terlalu semangat, adik kesayanganku jadi terbangun. Ya ampun.
“Eh? Mianhae Echi, suara kakak
mengganggu banget ya? Terlalu nyaring? Aduh..”
“Ah, anio eonni.. nggak mengganggu kok,”
adik manisku itu bangkit dari posisi tidurnya dan menatap kertas syair lagu
“Indonesia Raya” yang kupegang.
“Boleh liat nggak kak?” dengan wajah malu-malu mau, ia
menunjuk kertas tersebut. Aku tersenyum simpul dan memberikannya.
“Lagu ciptaan kakak ya?” tanya Echi dengan polosnya.
Aku jadi tertawa.
Dengan pasti aku menggeleng, “Bukan lah dek. Ini
lagunya W.R.Supratman..” kataku.
Echi nampak bingung. “Dia siapa? Kakek kita? Atau Om
kita?” aduh, sekali lagi aku tertawa. Tapi tawa kali ini jauh lebih heboh
dibanding sebelumnya.
“Ckck, kamu ada-ada aja, dek,” Aku lekas membaringkan
tubuhnya di kasur empuk dengan sprei biru bermotif kotak-kotak dan menyelimuti
setengah badannya dengan bed cover.
“Eonni-ya, aku penasaran.. W.R.Supratman itu
siapa sih? Lagunya bagus banget kak, Echi juga mau diciptain lagu sama Dia..”
Mendengar Echi berkata seperti itu, entah kenapa
perasaanku juga mengatakan hal yang sama.
W.R. Supratman. Pencipta lagu “Indonesia Raya”. Lagu
kebangsaan Indonesia. Apa motivasinya sehingga beliau bisa membuat lagu yang
‘wajib’ dihafalkan oleh seluruh rakyat Indonesia? Bagaimana beliau memilih
syair maupun kata yang pas serta nada yang indah di lagu tersebut? Dan yang
paling penting lagi.. Apa beliau masih hidup?
Huufft.. bahkan pertanyaan semudah itu pun aku tak mampu menjawabnya. Warga
negara macam apa aku ini? Filsofi sang pencipta lagu kebangsaan saja tidak
tahu, bagaimana dengan hal lainnya yang menyangkut kenegaraan?
Mungkin besok aku harus mengadakan wawancara
kecil-kecilan dengan Rudi.
xx
“Indonesia raya, merdeka, merdeka.. tanahku, negriku
yang kucinta.. Indonesia raya merdeka, merdeka.. Hiduplah Indonesia raya..
Indonesia raya, merdeka, merdeka.. tanahku, negriku yang kucinta.. Indonesia
raya, merdeka, merdeka.. Hiiduuplaaah.. Indonesia Rayaa..”
“Prok..
prok.. prok! Ya, anak-anak, kalian boleh istirahat beberapa menit
setelah itu kembali latihan.. semangatnya dipertahankan ya!”
“Baik, bu..”
Aahhh.. akhirnyaa jam istirahat tiba. Aku dan Rudi
bersama teman-teman paduan suara yang lain tersenyum lega dan masing-masing
mengambil segelas air mineral di tempat yang sudah disediakan. Alhamdulillah..
latihan jam pertama hari ini aku mampu menyanyikan lagu Indonesia raya dengan
baik. Mana dikasih aplous dari Bu Rissa lagi! Duh senangnya, hihihi.
“Ciee yang hari ini nggak diomelin,”
celoteh Rudi tiba-tiba. Aku tertawa kecil.
“Hehe, kan masih latihan pertama, Di,” balasku
merendah.
“Ya walau masih latihan pertama, berarti kan ini
pertanda baik. Semoga di latihan kedua nanti suara kamu bisa senyaring dan
sekeras latihan pertama tadi,” ucap Rudi sambil tertawa. Ah aku jadi malu.
“Kamu ngejek aku atau ngehibur aku nih?” tanyaku. Yah
Rudi malah tertawa lagi.
“Hehe lebih tepatnya sih memotivasi kamu.. Semangat,
Na!”
Kini giliran aku yang tertawa. Rudi bisa aja
mengalihkan pembicaraan. Hihi, ini nih yang aku suka dari Rudi. Dia suka
bercanda. Seru pokoknya!
“Loh, Inna, Rudi? Kalian berdua ngapain disini?” suara
seseorang tiba-tiba mengagetkanku dan Rudi. Oh, ternyata si Keke. Hmm.. ya,
Keke juga salah satu temanku di tim paduan suara.
“Ya lagi istirahat dong, Ke. Hehe sini gabung sama
kita!” sahutku.
Wajah Keke terlihat bingung. “Bukannya waktu istirahat
udah selesai? Nih, aku disuruh sama Bu Rissa ngambil keyboard di
ruang musik..”
Okesip, sekarang wajahku sama Rudi nyaris sama dengan
rusa kebingungan yang siap dimangsa 10 ekor singa.
xx
“Aduh Bu Rissa Jeongmal Saranghae,
Alhamdulillah banget ya kita nggak dihukum bahkan nggak dimarahi gara-gara
terlambat tadi..” Aah.. Hari ini benar-benar lucky day-ku.
Sepanjang latihan, baru kali ini aku nggak ditegur sama Bu Rissa. Serius.
“Kamu daritadi bilang Alhamdulillah terus kayak
Syahrini aja, Na,” balas Rudi. Hah? Syahrini?
“Nuguya? Syahrini itu siapa?” tanyaku sembari
mengerutkan alis. Yah, lagi-lagi aku diketawain sama Rudi.
“Ituloh Na, artis yang penampilannya glamour banget..
dia itu artis Indonesia yang.. Oh iya aku lupa, kamu kan nge-fansnya
sama artis Korea, bukan artis Indonesia, hehe,” jawab Rudi sambil tertawa
kecil.
Ngomong-ngomong, aku jadi teringat sesuatu.
“Oh iya Rud. Pencipta lagu Indonesia Raya itu..”
“W.R. Supratman? Wage Rudolf Supratman?” Rudi
tiba-tiba memotong pertanyaanku.
Aku mengangguk. “Dia tinggal dimana?”
Rudi mengernyitkan alisnya. “Memangnya kenapa?”
“Aku mau kerumahnya,” jawabku singkat. Loh, Rudi kok
ketawa lagi, sih?!
“Gini deh. Nanti sore, kalau kamu ada waktu, main geh
kerumahku. Nanti aku jelasin semua tentang Wage Rudolf Supratman,” kata Rudi.
“Hmm.. Okedeh. Sekalian kasihtau alamatnya ya!
Soalnya aku pengen banget ketemu sama dia!”
“Bukannya mau gimana Inna, tapi sebenarnya.. Sebenarnya
beliau itu udah nggak ada..”
“Maksud kamu?”
“Ya udah nggak ada.. W.R.Supratman itu udah
meninggal.. bahkan sebelum kita lahir, Na.”
xx
Hari
sudah sore.
Ya, entah mengapa, waktu berjalan cepat. Matahari
perlahan mulai bergerak ke arah barat. Semilir angin berhembus menerbangkan
dedaunan di ranting pohon, burung-burung mengepakkan sayapnya mengelilingi
langit biru muda. Sinar matahari bergerak mengikuti arahku.
Yup, arah kerumah Rudi.
Huft, kalau ingat Rudi, jadi ingat apa yang dia bilang tadi. Ternyata
W.R.Supratman itu udah nggak ada. Wajar aja kalau tadi si Rudi ketawain aku.
Aneh banget kan, masa iya aku minta alamat orang yang udah nggak ada?
Tapi
kalau Echi tau, dia pasti sedih banget. Aah, seandainya aja W.R.Supratman masih
ada.
“Inna! Inna!” selama aku berjalan, seketika langkah
kaki kananku berhenti mendengar sebuah teriakan yang memanggilku. Kumundurkan
kaki kananku sejajar dengan kaki kiri, dan berbalik ke belakang.
“Rudi?”
“Mau kemana? Katanya mau kerumahku?” tanya Rudi
keheranan. Maksudku, kami sama-sama heran.
“Lah ini mau ke rumah kamu..”
“Tapi rumahku nggak lewat sini lho Na,” ucap Rudi.
Mendengar itu, kedua bola mataku seketika bergerak cepat melihat lingkungan
sekitar. Ya ampun. Si Rudi benar.
“Hehe, mianRud, rumah kamu kelewatan,” aku
Cuma bisa nyengir sembari menampakkan jariku dengan bentuk “V”. Hihihi. “Lagian
kan aku baru 2 kali main ke rumah kamu, wajar dong aku masih lupa-lupa ingat,”
tambahku.
Rudi menggeleng-gelengkan kepalanya.“Kamu kepikiran
terus ya sama W.R.Supratman sampai-sampai rumahku aja dilewatin? Yaudah, yuk!”
Kami pun berjalan bersama menuju rumah Rudi. Eh,
ngomong-ngomong, Rudi itu dugaannya kalau soal aku nggak pernah salah, ya?
Setibanya di rumah Rudi, terlihat seorang laki-laki
(mungkin beliau ayahnya Rudi) dan dua orang anak sekiranya delapan tahun sedang
asyik mengikat kain persegi panjang berwarna merah putih pada tiang besi yang
ukurannya kurang lebih 40 meter. Hihi, persis banget sama tiang yang ada di
tengah lapangan sekolah.
“Assalamu’alaikum..” ucapku sembari setengah
membungkuk.
“Wa’alaikum salam.. Ooh, kamu yang namanya Inna nak?
Teman Rudi yang dari Korea itu?” Pria yang tadi sibuk mengikat tali kini
berjalan ke arahku; diikuti dua orang anak tadi. Udah kuduga, ini pasti ayahnya
Rudi.
Aku tersenyum. “Hehe iya Om,” balasku sambil
mengulurkan tangan dan menyalami beliau.
“Saya ayahnya Rudi, nah dua anak yang disamping kanan
dan kiri ini adiknya Rudi, namanya Iza dan Ica,” ucap ayah Rudi sambil
tersenyum. Wah, ramah banget.
“Halo dek..” sapaku sembari melambaikan tangan. Namun,
kedua anak tersebut justru bersembunyi dibalik ayahnya. Aduh, apa karna wajahku
mirip harimau kali ya mereka takut? Tapi kalo iya, berarti Echi juga nggak
bakal berani dong tidur sekamar sama aku. Hm.. mungkin mereka anak
yang pemalu. Ah, tapi biar pemalu tetap unyu-unyu koook!
“Udahan nih kenalannya? Yuk Na masuk..” hihi, ternyata
si Rudi udah nungguin daritadi.
“Hehe iya, ke dalam dulu ya om..” ucapku sambil
sedikit membungkukkan badan. “Mari,” tambahku sembari menampakkan senyum
simpul.
Ayah Rudi tersenyum. “Iya nak, sana gih! Ntar si Rudi
ngomel lagi,” katanya. Hihi, aku jadi tertawa kecil.
Akhirnya Aku mengangguk dan bergegas mengikuti Rudi
dari belakang memasuki rumahnya.
xx
Begitu masuk.. Oh Tuhan, jangan di tanya lagi. Aku tak
henti-hentinya berdecak kagum dan memuji apa yang aku lihat di rumah Rudi ini.
Foto pengibaran dan penghormatan bendera dengan efek hitam-putih, beberapa
jenis lencana yang terpajang dan tertata rapi di sudut ruang tamu, dan beberapa
benda antik lainnya. Bahkan ada senjata kuno tergantung disebelah foto!
“Jadi, W.R.Supratman itu salah satu pahlawan Indonesia
pada masa penjajahan Belanda, Inna. Beliau lahir pada 9 Maret 1903 di
Jatinegara. W.R.Supratman itu berkebangsaan Hindia-Belanda, dan setengah dari
perjalanan hidupnya beliau lalui di Makassar. Nah, lagu ‘Indonesia Raya’
yang beliau ciptakan itu lahir pada tahun 1924 ketika beliau berusia
21 tahun di Bandung,” jelas Rudi panjang lebar. Wah, ternyata Rudi bukan sekedar
mahir bercanda, ia juga pandai soal sejarah!
“Lalu... kapan W.R.Supratman wafat?”tanyaku.
Rudi tersenyum. “Coba kamu tebak,” balasnya. Yah malah
nyuruh aku nebak. Mana bisa benar.
“Tanggal 17 Agustus,” jawabku, yang pastinya
asal-asalan.
“Lah tuh kamu tau Na, kenapa masih tanya aku?” kata
Rudi.. eh? Jadi jawabanku betul?
“Jinjjayo? Yang benar Rud, W.R.Supratman wafat
pada 17 Agustus?” tanyaku lagi.
“Iya Innaaaaa. Beliau wafat pada tanggal 17 Agustus
1938 karena sakit. Semenjak beliau menciptakan lagu ‘Indonesia Raya’, beliau
semakin rajin menciptakan lagu dan akibatnya beliau diincar polisi
Hindia-Belanda. Beliau ditahan dan jatuh sakit..” jelas Rudi lagi.
“Ooh..” Aku mangut-mangut sembari mengikuti arah
bolamataku pada ‘barang-barang antik’di ruang tamu Rudi. Duh serius deh
(mungkin bisa duarius), keren banget! Daebakkie!
“Ya, Omku dulu seorang veteran. Itu sebabnya aku
senang sama hal-hal yang berkaitan dengan sejarah,” sahut Rudi sembari
memperhatikanku yang sibuk melirik lencana emas di atas meja rotan disebelah
kiriku. Iya, disudut ruang tamu. Hihi, Rudi tau aja kalo aku lagi
kagum-kagumnya sama lencana itu.
Rudi berdiri, menatap foto dengan efek hitam putih
yang digantung sejajar dengan senjata kuno disampingnya. “Ini yang memotivasi
aku buat ikut kelompok paduan suara. Yah sebenarnya aku mau jadi paskib
sekolah, sayangnya aku nggak lolos karena tinggi badanku. Jadi aku putuskan
untuk mengikuti paduan suara. Pokoknya aku ingin jadi bagian dari petugas
upacara walau hanya menjadi tim paduan suara!” seru Rudi disertai senyum dengan
menampakkan gigi gerahamnya. Aigoooo, ia semangat sekali!
“Oh ya,” tiba-tiba Rudi menyahut. “Kalo kamu Na? Apa
yang memotivasi kamu ikut paduan suara?” sambungnya.
Mendadak aku jadi bingung.
“Hmm.. apa ya..”
“Masa itu aja pake dipikir Na,” sahut Rudi lagi. Si
Rudi hobi banget nyahut, ya.
“Aku nggak tahan dibully terus sama
teman-temanku dikelas. Mentang-mentang aku dari Korea, dibilang aku anak
operasi plastik lah, Nggak alami lah. Cuma bisa rendahin orang lain. Aku mau
buktiin, aku bisa jadi warga negara Indonesia yang baik dan punya budi
pekerti!” ucapku penuh semangat.
“Lagian orang Korea juga punya sopan-santun kok. Orang
Korea juga ramah dan baik hati, asalkan kita bersikap baik juga terhadap
mereka. Dan aku juga ingin mereka tau, kalau aku bisa menyanyikan lagu
kebangsaan negaraku sendiri. Walau aku blasteran atau apalah
itu, dan walaupun aku baru 2 bulan menginjak tanah lahir ibuku ini..”
“Aku tau kamu bisa, Inna. Buktikanlah.”
xx
Hari terakhir latihan.
Setelah jam belajar berakhir, tanpa basa-basi aku
bergegas mengatur bangku, menyapu ruang kelas dan membuang sampah ke tempat
pembuangan akhir di belakang koridor sekolah (lantaran aku piket hari ini) dan
segera menuju ruang paduan suara. Oh ya. berhubung hari ini kita geladi resik,
jadi kita akan latihan di lapangan sekolah. Hore!
Setibanya di ruang paduan suara, Bu Rissa menyuruh
kita untuk latihan pemantapan lagi sebelum turun ke lapangan. Hari ini aku
benar-benar bersemangat. Dimulai dari lagu ‘Indonesia Raya’, ‘Mengheningkan
Cipta’, dan diakhiri dengan lagu ’Hari Merdeka’. Nah, karena ini hari Jum’at
dan merupakan hari latihan terakhir, jadi kami harus menunggu murid laki-laki
sholat Jum’at dulu, lalu setelah itu kelompok paduan suara menuju lapangan
untuk geladi resik.
Setibanya dilapangan, ternyata tim paskib telah
melakukan geladi resik duluan. Pastinya, si kakak angkat—Rudi terus
memperhatikan mereka dengan wajah ala kambing cengo, hihihi. Selain itu,
beberapa siswa-siswi disekolahku juga belum pulang. Aku harap ada salah satu
teman kelasku diantara beratus siswa yang masih asyik bercengkrama di atas
balkon sekolah. Aku ingin mereka melihatku, dan aku ingin mereka tau bahwa aku
benar-benar serius ingin membuktikan pada mereka bahwa aku bukan
orang-Korea-yang-suka-merendahkan-atau-menjelekkan-orang-lain—blasteran-nggak-punya-adat seperti
yang mereka pikirkan.
Setelah berbaris sesuai tempat yang telah
ditentukan—tepatnya disebelah kanan tiang bendera, kami semua saling
bertatapan. Menghela nafas dalam-dalam. Menghembuskannya. Ya, aku tau, apa yang
dirasakan teman-teman paduan suaraku ini pasti sama dengan apa yang aku rasa.
Khawatir.Dan mungkin saja mereka mengkhawatirkan aku, karena aku yang paling sering
salah nada bahkan lupa lirik, terutama pada lagu ‘Hari Merdeka’.
“Tenang dong Inna, tangan kamu sampai bergetar
gitu,” sahut Rudi mengagetkanku.
“Jelas iya Rud, kalau di latihan terakhir ini aku
salah lirik ataupun nada, Bu Rissa pasti langsung akan mengeluarkanku dari tim
paduan suara untuk besok,” kataku.
Rudi tersenyum. “Kalau begitu, bernyanyilah dengan
hati. Jangan bernyanyi karena takut ditegur Bu Rissa.”
Aku menatap Rudi lekat-lekat. Sembari memberikan
senyumku selebar-lebarnya. Mencerna apa yang baru saja ia katakan.
“Gomawoyo ne,” balasku singkat. Walau nampak kebingungan,
aku yakin Rudi pasti tahu apa yang kukatakan tadi. Terima kasih, Rudi.
“Baik, anak-anak, hari ini kalian benar-benar harus
bersemangat. Keraskan suara kalian, semua harus serius. Sebelum geladi resik
ini dilakukan, mari kita berdoa. Berdoa dimulai.” Mendengar Bu Rissa, segera
kutundukkan kepalaku dan melakukan kontak singkat dengan Tuhan. Aku harap Ia
mendengar doaku.
“Selesai,” ucap Bu Rissa sembari mendongakkan
kepalanya ke atas diikuti olehku dan teman-teman paduan suara.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Hwaiting!
xx
“Assalamu’alaikum.. Inna pulaaaangg..”
“Wa’alaikumsalam.. Inna tumben pulangnya sore?
Biasanya jam 2 udah pulang..” wah, ternyata Eomma yang
membukakan pintu untukku.
“Hari ini aku geladi resik Eomma,” jawabku
singkat sembari duduk di ruang tamu melepas ikatan tali sepatu Converse hitamku.
“Paduan suara?” tanya Ibuku lagi.
“Ne,” jawabku sambil tersenyum.
Ibu membalas senyumku sembari mengelus-elus kepalaku.
“Kamu itu semangatnya tinggi sekali ya nak. Persis Appa,” ucapnya
dengan lembut. Aku jadi tertawa kecil.
“Eomma, doakan aku ya, semoga besok kelompok
paduan suaraku bisa berhasil menjalankan tugas,” ucapku penuh pengharapan.
“Do’a eomma selalu menyertaimu nak.
Tanpa kamu minta pun eomma pasti mendoakanmu,” jawab Ibu.
Aduh, aku jadi terharu.
“gomawoyo eommaaaaaa..” sahutku sambil memeluk
wanita yang paling aku cintai itu erat-erat. Setiap memeluknya, perasaanku
selalu tenang. Damai. Dan hangat. Kasih sayang dan ketulusannya mengalir deras
di jiwaku; layaknya hujan tanpa henti.
“Cheonmanhaeyo sayang..” balas Ibu.
“Oh iya,” beberapa detik kemudian, aku jadi teringat
sesuatu. “Eomma, besok kan hari kemerdekaan Indonesia. Rudi bilang, sebagai
penghormatan kepada para pejuang bangsa, kita wajib mengibarkan bendera
merah-putih di depan rumah..” kataku.
“Begitukah? Hmm.. kalau begitu, kamu makan dan mandi
dulu, setelah itu baru kita kibarkan benderanya bersama Echi. Setuju?”
“Okedeh eomma, kalau begitu Inna makan
dulu ne, udah lapar nih daritadi hihihi,” jawabku sembari berlari
kecil menuju meja makan.
Aah.. tidak terasa duabelas hari latihan telah
terlewati. Jadi ingat waktu aku pertamakali berteman dengan Rudi di kelompok
paduan suara. Jadi ingat juga, selama latihan, aku yang paling sering ditegur
oleh Bu Rissa. Dan yang nggak akan aku lupakan adalah kata-kata Rudi sebelum
geladi resik tadi.
“Bernyanyilah dengan hati.”
Aku menghela nafas dalam-dalam. Menghembuskannya
dengan pelan. Ya, besok. Tanggal 17 Agustus. Hari kemerdekaan Indonesia.
Aku.. akan bernyanyi sepenuh hati.
xx
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari
kemerdekaan kita.. hari merdeka, nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa
Indonesia, mer..de..ka.. s’kali merdeka tetap merdeka!”
“Eonni, nyanyinya semangat banget..” suara Echi
yang imut itu mengalihkan pandanganku dari cermin berbingkai biru di kamarku
dan menatapnya disertai dengan senyum simpul.
“Hihihi, jinjja? Semangat dong, hari ini
kan..”
“17 Agustuuusss! Hari dimana Indonesia merdeka!
Horee!” Echi bangkit dari tempat tidurnya dan meloncat-loncat gembira. Aku
tertawa kecil dan kembali menatap cermin datar di depanku sembari merapikan
dasi abu-abu yang ku kenakan.
Setelah berpamitan pada ayah dan ibu, aku bergegas
kesekolah, tak lupa meminta doa agar hari ini upacara peringatan hari
kemerdekaan Indonesia ke 68 di sekolahku bisa berjalan lancar. Dan untuk hari
ini aku nggak naik ojek, melainkan pergi bersama Rudi. Alhamdulillah, tumpangan
gratis.
Sesampainya di sekolah, kerumunan anggota paskib sudah
memenuhi koridor. Ada yang sibuk mengenakan peci, sarung tangan, bahkan ada
yang sibuk menaburkan bubuk bedak dipipinya. Hihi, semuanya tampil spesial
untuk hari yang istimewa ini.
Aku dan Rudi sibuk mencari anggota paduan suara.
Kemarin, sebelum pulang, Bu Rissa mengatakan bahwa kita akan geladi resik di
lapangan sekali lagi sebelum upacara dimulai. Tapi saat ini, anggota paduan
suara yang ada baru aku dan Rudi. Wah, mungkin teman-teman yang lain juga masih
sibuk mempersiapkan penampilan mereka.
“Kalian berdua sudah datang?” suara Bu Rissa spontan
membuat aku dan Rudi berbalik ke belakang. Waw. Bu Rissa.. Neomu yeppo!
“Iya nih Bu. Yang lain dimana?” tanya Rudi tanpa
basa-basi.
“Ibu juga belum melihat mereka, mungkin baru kalian
berdua yang datang. Yasudah, kalau begitu kalian persiapkan diri saja dulu
sambil menunggu teman-teman lain. Kalau semua sudah datang, baru kita lakukan
geladi resik,” jelas Bu Rissa.
“Oh baiklah bu,” ucapku dan Rudi sambil mengangguk
mantap.
“Semangat ya nak,” kata Bu Rissa sembari menepuk pelan
pundakku dan Rudi. Beliau pun pergi meninggalkan kami ditengah lapangan.
“Yok Rud, latihan!” sahutku penuh semangat.
“Dengar seluruh angkasa raya memuji pahlawan negara..
Nan gugur remaja diribaan bendera bela Nusa bangsa.. Kau ku kenang wahai bunga
putra bangsa.. Harga.. Jasa.. Kau cahya pelita..”
“Wisss.. ada yang ikut paduan suara nih. Pengen
eksis ya ciee..” suara seseorang yang sepertinya kukenal langsung
membuatku dan Rudi berlatih menyanyi.
“Sita?”
“Iya, kenapa? Hoh, kamu ya. Makin belagu aja.
Mentang-mentang di Korea sana banyak yang punya suara emas, jadi kamu mau pamer
gitu? Hah?” si tukang nyolot di kelasku ini tiba-tiba memarahiku nggak jelas.
Dan sudah pasti, di belakang cewek yang hobi berdandan ini ada dua pengawal
setianya, Jeje dan Milah. Kayak di sinetron aja.
Aku diam, enggan menggubris perkataannya dan menarik
Rudi pergi mencari Bu Rissa.
“Hoi! Mau lari dari kenyataan ya? Haha, lari aja sana,
paduan suara kali ini pasti bakal kacau karena kamu!” Sita berteriak dengan
suara super nyaring di lapangan; yang otomatis membuat semua siswa menatap ke
arahku dan Rudi. Emang gue pikirin? Teriak sajalah. 2 bulan terakhir ini kamu
boleh menghina, mengejek, bahkan menginjak-injak aku. Semua akan kubuktikan
hari ini.
Sekali lagi.. Aku akan bernyanyi dengan hati.
xx
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari
kemerdekaan kita.. Hari merdeka, nusa dan bangsa.. hari lahirnya bangsa
Indonesia, mer.. de.. ka! S’kali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih
dikandung badan.. kita tetap, sedia.. tetap, setia.. mempertahankan Indonesia..
kita tetap, sedia.. tetap, setia.. membela negara kita!”
“..membela negara kita...”
Nada diatonik-pentatonik dari keyboard terus
bermain beberapa saat, hingga akhirnya terhenti dan digantikan oleh riuh tepuk
tangan peserta upacara. Helaan nafas secara bergantian dariku, Rudi, Keke,
maupun teman-teman paduan suaraku yang lain termasuk Bu Rissa sebagai
pemain keyboard.
Kami saling bertatapan, melempar senyuman. Tugas kita
sudah selesai.
Terima kasih Tuhan! Terima kasih Bu Rissa, terima
kasih Rudi, terima kasih teman-teman! Aku bangga mampu menyanyikan lagu
kebangsaan dan lagu kemerdekaan bangsaku!
xx
Upacara berakhir dengan khidmat. Setelah bersalaman
dengan para guru, aku dan kelompok paduan suara saling berpelukan dan foto
bersama. Alhamdulillah, upacara peringatan kemerdekaan Indonesia disekolahku
berjalan sangat lancar. Bahkan, ketika penyampaian amanat dari Kepala Sekolah
tadi, beliau mengatakan upacara 17 Agustus tahun ini merupakan upacara paling
hebat dan paling mengesankan. Daebak!
Sehabis upacara, Kakak-kakak pengurus OSIS disekolahku
mengadakan lomba. Walau hanya beberapa siswa yang ikut, lomba tersebut tetap
seru dan heboh. Sebenarnya aku ingin sekali ikut, sayangnya badanku terasa
pegal dan ingin cepat pulang. Tapi Rudi ikut, kok! Bahkan dapat juara dua pada
lomba makan kerupuk, hihihi.
Hari ini benar-benar hari yang paling istimewa. Sabtu,
17 Agustus 2013. Hari pertama aku mengikuti Upacara Peringatan Kemerdekaan
Bangsa Indonesia. Hari dimana aku menunjukkan bahwa aku adalah anak bangsa
Indonesia yang berbudi pekerti dan cinta tanah air.
Jeongmal Saranghaeyo, Indonesia. Aku mencintaimu!
xx
“Assalamu’alaikum, Inna pulaang..”
“Wa’alaikum salam..” Woaah, ternyata Ibu, Ayah, dan
Echi sedang kumpul di ruang tamu.
“Gimana upacaranya, eonni? Lancar?” hihi, baru datang
Echi sudah bertanya.
Aku tersenyum sembari menyalim tangan ayah dan ibu.
“Alhamdulillah lancar Chi,” jawabku senang.
“Oh iya, eonni, coba deh lihat ini, kemarin Echi habis
beli buku kumpulan lagu-lagu Nasional. Trus, kemarin juga Echi nanyain Bu Guru
tentang W.R.Supratman. Katanya beliau itu salah satu pahlawan sekaligus
pencipta lagu nasional.. sayangnya, Dia sudah meninggal kak..” kata Echi
sembari menyodorkan sebuah buku padaku. Melihat Echi jadi sedih karena
membicarakan W.R.Supratman, aku juga jadi ingat cerita Rudi waktu itu.
Hu-uh L
Aku mengambil buku yang diberikan Echi, duduk
disamping eomma dan membuka halaman ‘Kumpulan Lagu-Lagu
Nasional’ tersebut satu persatu. Wah, kertasnya warna-warni. Selain itu,
lagu-lagu yang ditulis di buku ini tidak hanya menampilkan syair, tetapi juga
menampilkan not angka. Hm.. mungkin aku akan membelikan buku ini juga buat Bu
Rissa. Supaya beliau bisa memainkan lebih banyak lagu nasional lagi, hihihi.
Pada halaman pertama, sudah pasti tertulis lagu
kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R.Supratman. ketika kubuka halaman
selanjutnnya.. judul lagunya.. Hm, ‘Berkibarlah Benderaku’, ciptaan
Ibu Sud.
Aku tertarik dengan syairnya. Seketika langsung
kulihat kibaran bendera merah-putih di jendela. Jadi ingat waktu kemarin
mengikat tali-tali sang merah putih tersebut bersama Ibu dan Echi.
Seketika Ibu, Ayah, dan Echi menatapku dengan senyum.
Merekapun ikut melihat kibaran merah putih yang menjulang tinggi di depan
rumahku itu. Angin sepoi-sepoi menerbangkannya, sehingga sang merah putih tersebut
terlihat lebih gagah dan pantas untuk dihormati.
Sang merah putih yang perwira, berkibarlah
s’lama-lamanya. :”)
Vocabulary~
Saranghae : Cinta; Aku Cinta Kamu
Jeongmal : Sangat; Benar-benar
Ne : Ya
Jebal : Mohon; tolong
Eomma : Ibu; Mama
Appa : Ayah
Dongsaeng; saenggie : Adik
Eonni : Kakak—panggilan adik perempuan kepada kakak perempuan
Jinjja; Jinjjayo : Benarkah? ; Sungguh?
Nae : Saya; Aku
Baegopa : Lapar ; Baegopayo : Aku lapar
Neomu : Sangat
Yeppo : Cantik
Cheonmanhaeyo : Sama-sama
Gomawo; Gomawoyo : Terima Kasih
Mianhae; Mian; Mianhanda : Maaf; Aku minta maaf
Nugu; Nuguya : Siapa
Aigo : Ya Ampun; Astaga
Daebak; Daebakkie : Hebat; Keren
Ani; Anio : Tidak; Bukan
Gwaenchana : Tidak apa-apa; Baik-baik saja
Annyeong : Halo; Apa kabar
Hwaiting : Berjuanglah!
No comments:
Post a Comment