“Pluviophile.”
AKU
BENCI HUJAN.
Ya.
A-ku Ben-ci Hu-jan.
Membuat
pekan Porseni-ku hancur, weekend-ku hancur, dan semua hanya karena satu nikmat
Tuhan yang entah kenapa sangat aku benci : H-u-j-a-n.
Bisakah
Engkau gantikan pasukan air ini dengan sinar matahari yang lebih membuatku
bersinar, Tuhan?
Tuhan,
dengar doaku!
xx
Hari
ketiga Porseni.
Aku
membuka hari seperti biasanya—bangun pagi, ku terus mandi, tidak lupa menggosok
gigi—ditambah dengan suara perang air hujan dengan seng sebagai pelapis plafon
rumahku. Orang-orang di wilayah Afrika—jika mereka punya akun Path—bisa saja langsung membuatku iri
lantaran update-an sinar mentari yang
tak pernah habis-habisnya disana. Untungnya, aku nggak berteman dengan mereka
di akun Path. Mau berteman juga gimana, akun Path aja aku nggak punya.
Kulirik
kaca jendela sembari mengenakan jilbab paris krem ku. Batinku terus mengeluh,
“Hujannya kapan berhenti, Tuhan..”
“Eny,
sudah siap belum? Cepat sebelum hujannya tambah deras, kamu naik motor..” Suara
mama tiba-tiba menghentikan keluhan batinku.
“Iye
Bu…” seketika langsung kutarik tas Neosack
diatas meja dan bergegas keluar kamar. Menuju tempat favorit di rumahku : meja
makan.
xx
Masih
sepi.
Wajar
sih, jam tangan di lengan kiriku masih menunjukkan angka enam. Daun berterbangan—saking
kencangnya sang angin—, pasukan air turun sedikit demi sedikit, awan kelam, dan
sekolahku persis dengan rumah hantu yang kulihat di film horror.
Beruntung,
pemandangan itu hanya terlihat di depan sekolahku.
Ketika
kulangkahkan kaki masuk ke dalam koridor lapangan, ternyata ada dua orang pria
tidak sebaya; Pak Ridwan, si penjaga sekolah yang sudah bertahun-tahun menjadi
‘juru kunci’ tiap ruangan di sekolahku, dan Kak Safwan, rekan pengurus OSIS
yang satu tahun lebih tua dariku. Dan.. tak perlu kusebut, siapa orang yang
akan kusapa. Kalian pasti tahu jawabannya.
“Eny rajin banget. Burung-burung baru aja terbang cari
makan, kamu udah disekolah ,”sambut Kak Safwan.
Aku tertawa.
“Bahkan di saat hujan pun, burung masih harus terbang.
Burung saja berjuang,”balasku sambil
mendaratkan pantatku di kursi kosong tepat berada didepan Kak Safwan.
Kak
Safwan tertawa, dan menepuk pelan kepalaku.
“Life is wheel,” tambahnya. Aku tersenyum dan mengagguk pelan; menyetujui kata
Kak Safwan.
Detik
demi detik, gerombolan siswa-siswi berdatangan memenuhi lapangan beratap
sekolahku itu. Makin banyak, banyak, hingga tak terhitung. Pukul delapan lewat
tiga puluh tiga menit. Porseni hari ketiga dimulai.
xx
“Eny, kamu nggak haus? Ke kantin yuk,”
suara khas teman sekaligus sahabat sekaligus teman curhat sekaligus ‘pacar
bohongan’ku tiba-tiba mengagetkanku yang sibuk mencatat skor permainan Volley
Putra. Aah Aswir, kita lagi bertugas dia ngajak jajan.
“Kamu sama Evit aja dulu, volley-nya masih sebabak lagi
wir-beb,” balasku singkat; lalu kembali fokus
pada tugasku. Hampir saja tim kelas XI IPS 1 kehilangan satu skornya.
Alis
Aswir mengerut. “Kamu rajinnya
kelewatan, tau.” katanya. Aku tertawa kecil.
“Udah ke kantin gih,”
kataku. “Hujan tau, nanti kamu sakit.
Kalau sakit nggak ikut Study Tour ke Bali. Nggak ada yang beliin aku oleh-oleh.”
Aswar
memukul lenganku. “Ish, iya, iya.
Dasar Eny, selalu aja mau gratisan. Aku duluan ya,”
ucapnya sembari melambaikan tangannya dan melangkahkan kakinya menuju kantin. Bibirku
melepaskan senyum simpul mengingat tingkah sahabatku yang childish itu.
Belum
lama Aswir lewat, serangga-yang-sudah-siap-mencari-mangsa kedua datang
menghampiriku. Evit. Melihat cara jalannya yang terlihat panik sambil memegang
perutnya, sudah bisa kutarik satu kesimpulan : Maag-nya kambuh. Dan ini akut.
“Eny, ayok ke kantin perutku udah nggak bisa diajak
kompromiiii!” Evit memelas, dan membuat kepalaku
bingung harus menoleh atau tetap fokus pada pencatatan skor.
“Aduh vit jangan gangguin dulu, aku masih kerja,”
balasku; tanpa menoleh.
“Hadeeeeeh rajin banget sih kamu. Gantian aja sama Nisaf,
dia udah makan. Aku tungguin di depan ruang guru ya, yang ada kursi panjang,”
katanya. Tanpa menunggu balasanku, Evit langsung meninggalkanku. Menungguku di
kursi panjang di depan ruang guru.
xx
Se-seru
apapun pertandingan volley putra, serunya lomba futsal tak akan menandingi
apapun. Puluhan supporter memenuhi sudut lapangan futsal; mereka berteriak,
bertepuk tangan, berseru, dan memberi semangat tim kelas mereka. Semangat
mereka lebih menggebu-gebu dibanding para pemain. Iya, semangat teriaknya.
Aku
berjalan—tak perlu kujelaskan kemana aku pergi—dan memfokuskan mataku pada
jilbab ungu yang dikenakan Evit. Jlbab ungu, jilbab ungu, jilbab ungu,
dimanakah engkau berada.. jilbab ungu, jilbab ungu..
Tunggu.
Aku
pikir, kacamata yang dikenakan laki-laki manis itu mengalihkan pencarian jilbab
ungu-ku.
Hidung
mancungnya membuat kornea mataku enggan berhenti menatapnya. Jelas saja,
apalagi ia mengadap ke samping lapangan. Bediri tegap dibelakang ring basket.
Menatap segerombol cewek yang sedang asyik bercengkrama di kursi panjang di
depan kelas XI IPA 4. Sesekali ia tersenyum, namun tak begitu jelas senyumnya
di indra penglihatanku. Terlalu banyak orang lalu-lalang didekatnya. Wajahnya
putih bersih..
Aah,
dia menghilang! Oh Tuhan, dia kan bukan avatar, kenapa cepat sekali, sih? semenit
pun belum cukup waktuku..
Teringat
tiba-tiba di cerebellum-ku si-jilbab-ungu
yang hingga kini masih belum tampak batang hidungnya. Evit. Ya. Mungkin dia
mengenalnya. Semoga saja.
xx
Gadis
berkerudung ungu—maksudku berjilbab ungu itu ternyata sudah nongkrong di kantin
Ibu Esti kira-kira lima belas menit yang lalu. Parahnya, dia tampak tidak
menghiraukanku dan sibuk ngobrol sama Aswir. Dasar Evit, nggak pernah diam di
tempat. Selaluuuu aja cepat bosan, dan mengingkari janjinya.
“tinggalin aja terus, kamu emang selalu ingkar janji sama
aku,” ketusku sembari mendaratkan bokongku—lagi di
kursi panjang sebelah Evit. Wajahnya langsung menampakkan ekspresi
‘maafin-aku-Eny-cacing-cacing-di-perut-sudah-mencuri-semua-nutrisi’.
“Kan tadi aku bilang udah lapar banget Eny, maafin Evit
yaaaaa...” balasnya; tanpa rasa berdosa.
“Gak usah dimaafin kalo kamu nggak ditraktir En,”
ucap Aswir tiba-tiba. Dengan tawa kecil disertai senyumku yang mengambang
langsung kukatakan,”Oke Aswir!”
“Iya anak upil, kamu emang diciptain untuk selalu dapat
gratisan. Bu Esti, baksonya satu mangkok lagi ya,”
aaah, Evit emang sahabatku yang paaaaliiiiiiiiiing baik. Baik diporotin. Haha.
Oh
iya. Tentang si laki-laki kacamata.
“
Bunda Evit,” panggilku
dengan nada sok akrab—padahal kenyataannya kami memang sangat akrab, “... kamu kenal nggak sama siswa laki-laki yang pake
kacamata disekolah kita? Mungkin kelas sepuluh, sebelas, atau dua belas.. ”
Evit
menatap ke arahku. “Eny kamu tolol atau
gimana sih? Di kelas kita aja cowok yang pake kacamata ada 4 orang ya ampun,”
Oh iya, ya. Cowok yang pake kacamata di
sekolah ini kan bukan cuman satu.
“Tapi cowok ini putih banget... manis lagi. Dia lain dari
yang lain.”
Batinku.
“Kalau Aswir.. punya kenalan?”
tanyaku pada Aswir. Ia terlalu sibuk mengaduk mangkok baksonya dengan campuran
Lombok dan kecap.
Evit
mengangkat bahu. “Entahlah, aku jarang melihatnya.”
Aswir
pun serupa. Mengangkat bahu. Menggelengkan kepala.
Aku lantas menunjukkan air muka nyaris putus asa. Namun
tiga belas detik setelah itu, Bu Esti datang membawa pesananku. Baiklah, sebaiknya kulahap ini
dulu.
Sembari menyendok satu demi satu potongan bakso,
laki-laki berkacamata itu terus saja terbayang-bayang di kepalaku. Siapa dia,
kelas berapa, mengapa aku jarang melihatnya, serta beberapa pertanyaan lain
yang mengekor dibelakangnya juga menghantui kepalaku. Seperti pernah
melihatnya, namun..
Tiba-tiba batinku bergejolak. Aku harus mencari tahu
siapa dia.
xx
Hingga pukul 17.30 pun, hujan enggan reda. Porseni hari
ini sudah berakhir, diikuti sejumlah catatan penting. Kak Tyo, ketua panitia event ini menyuruh kami untuk terus
bekerja keras dan tidak kenal lelah. Kami juga harus menjaga kesehatan, sebab
akhir-akhir ini hujannya nggak santai. Iya, dia sedang labil. Kadang gerimis,
tau-tau 5 menit kemudian guntur membendung sana-sini.
Dan catatan penting untukku hari ini adalah; si laki-laki
berkacamata itu.
xx
Lagi-lagi, pagi-ku diawali dengan mendengar suara perang
air hujan dan seng. Lagu Invisible
dari Hunter Hayes yang sedang berputar di headphone-ku pun tidak bisa
mengalahkan derasnya hujan di luar sana. Tuhan, aku tahu ini nikmat. Tapi
mengapa aku sangat membencinya?
xx
Seperti biasa, jam kerjaku dalam porseni habis dalam
mencatat skor pertandingan volley putra. Sebenarnya ini seru. Melihat
masing-masing kelas bertanding, beradu strategi, dan mengatur kekompakan yang
baik. Tapi, kalau sudah 4 hari dan yang kukerja gini-gini aja, rasanya hambar
banget. Terlebih lagi, kelasku sudah kalah melawan kelas XII IPA 5 dua hari
kemarin. Jadi nggak semangat.
Aku sibuk mendengar instruksi wasit untuk memberikan skor
kepada masing-masing tim. Mencapai 25 skor butuh waktu yang lama, belum lagi
kalau tim lawan saling mengejar hingga harus juz berkali-kali. Dan naasnya, aku
harus benar-benar melindungi kertasku lantaran hujan yang parah banget.
Pekerjaan ini benar-benar melelahkan.
“Eny, sudah berapa skornya?” tanya Raka, salah satu
pemain dari kelas X-4. Walau beda kelas, sejak lulus OSIS kami saling kenal
baik. Raka juga sering mentraktirku Coca-Cola. Emang sih, lagi-lagi aku dapat gratisan.
Aku tersenyum, sembari memperlihatkan papan skor. “Tenang
ka, kamu memimpin, kok. Skornya 17-12. Semangat, ka!”
Raka mengangguk, matanya nampak menggebu. “Semangat!”
Cowok berkacamata itu lalu kembali fokus ke permainan.
Kali ini, ia mendapat bagian untuk servis bola.
Eh, iya. Bicara soal cowok berkacamata.. dia dimana, ya?
xx
Tak disangka-sangka, permainan volley putra terakhir tadi
membawa berkah buat kelas Raka. Ia berhasil lolos ke babak semifinal.
“Kamu tadi keren banget, ka! 4 servisan kamu ternyata
bikin kelas X-4 lolos ke babak semi-final. Selamat, ya!” ucapku, ikut senang
melihat kebahagiaan Raka. Ia tertawa.
“Haha, makasih, en. Kamu ngucapin selamat bukan karena
ada maunya, kan?” Raka menggodaku. Aku ikut tertawa.
“Eh, nggak, kok. Kali ini aku ikhlas. Dari lubuk hati
yang paliiiiiiing.... dalam,” balasku. Tiba-tiba, Aswir datang dan langsung
saja masuk ditengah-tengah merangkulku dan Raka.
“Kalian ngomongin apa, hayo!”
Aku mendengus, sambil memperhatikan giginya yang terus
cekikikan, lalu beralih pada gagang kacamata Raka. “Aswir selalu deh gini.”
“Jadi dia yang kamu tanyain kemarin, en? Oh cie..” tiba-tiba
Aswir mencerocos nggak jelas. Anak ini ngomong apa, sih?
“Eny, Aswir bicara apa? Kalian.. punya rahasia?” spontan
Raka bertanya kepadaku.
Oh, aku baru saja ingat. Cowok berkacamata. Seketika aku
langsung menepuk jidat.
“Aswir kamu tolol atau apa? Kalau aku kenal sama cowok
yang kemarin, nggak mungkin aku nanyain kamu. Masa iya sih yang aku liat
kemarin Raka,” ketusku.
Raka mengerutkan alis. “Hey, sebenarnya ada apa ini?”
Baru saja ingin bicara, Aswir sudah mendahului
kesempatanku. “Ini ka, si Eny kemarin nanyain ke aku sama Evit soal kenalan
cowok yang pake kacamata. Kayaknya ada sesuatu tentang cowok itu, yaah aku
kirain cowoknya itu kamu. Eh ternyata bukan,” terangnya. Setelah meneguk
Nescafe Caramel-nya, Raka lantas menoleh padaku.
“Siapa, sih, En? Gebetan kamu, ya?”
Aku menelan ludah. Kampret si Raka. Kenal aja enggak, kok
jauh banget pemikirannya!
“Aku bahkan nggak tau namanya, ka. Plis dong jangan
berpikir kejauhan.”
“Oh love at the
first sight, gitu? Jelasin coba ciri-cirinya. Siapatau aku bisa bantuin
kamu cariin dia.”
Aku menyerah. Si Raka kalau penasaran jadi gini.
Pertanyaannya bejibun, Aswir aja udah kabur duluan. Dasar tuyul, cepat datang
ninggalinnya juga cepat. Gimana nasibnya si Ramlah jadi ceweknya. Ya Ampun.
Aku mulai menghela nafas. “Kemarin pas mau nyari Evit,
dia berdiri depan kelas XI IPA-4. Kayak liatin cewek gitu. Posisinya persis di
dekat ring basket. Kulitnya putih banget, alisnya tebal. Kornea matanya
kecoklatan, rambutnya mirip banget kayak kamu. Trus pake kacamata, gagang coklat
juga kalau nggak salah. Tapi, nggak sampai 10 detik, tau-tau dia udah nggak
ada,” seketika raut wajahku langsung menampakkan rasa kecewa.
Seketika itu juga, raut wajah Raka berubah.
“Tunggu dulu. En, bajunya? Dia pake baju apa?”
“Baju sekolah. Yang biasa kita pake kalo hari Rabu sama Kamis,
ka. Itu juga salah satu faktor yang bikin aku bingung, karena dia nggak make
baju persatuan kelas. Jelas-jelas ini kan porseni, jadinya aku nggak bisa
mastiin dia kelas berapa.” Kutundukkan kepalaku, semakin kecewa atas
kemungkinan kecil aku bisa mengenal cowok berkacamata itu.
Raka meneguk Nescafe nya lagi. Ia seperti memikirkan
sesuatu. Tak lama, tau-tau ia tersedak.
“Raka, kamu kenapa?”
“A-aku ke lapangan dulu ya, En. Ka-Kka- kamu masih mau
disini?” Raka justru berbalik bertanya. Sikap Raka kok jadi aneh gini.
Tanpa menunggu jawabanku, ia sudah lari duluan. Mengikuti
hembusan angin.
xx
Aku masih disini. Termenung di kantin Bu Esti ditemani
seteguk teh melati hangat dan 2 potong
jalangkote’. Hari ini Evit nggak masuk, katanya ayahnya ngomel gak jelas
lagi. Jadinya gini deh, aku sendirian. Padahal biasanya kalau ke kantin selalu
sama si Evit.
Kutatap jendela besar yang mengarah ke garasi. Disana,
rekan OSIS dan puluhan siswa sibuk mengamati jalannya perlombaan tarik tambang.
Ramai sekali. Jelas saja, tarik tambang, kan, merupakan salah satu perlombaan
yang paling heboh dan dahsyat. Bagi orang kebanyakan, itu seru. Tapi tidak
bagiku. Huh, tanganku pernah terkilir karena tambang mengerikan itu.
Kak Safwan, hakim garis tarik tambang, tampak bersemangat
memberi instruksi pada peserta. Kalau lihat kak Safwan semangat gitu, aku
merasa bangga banget jadi anak OSIS. Aku dapat banyak pelajaran dari dia, dan
punya banyak teman. Kakak kelas yang satu ini baik banget soalnya, dan terkenal
ramah sama adik kelas. Sebenarnya bukan cuman kak Safwan, sih, semua kakak
kelas dalam kepengurusan OSIS baik, kok. Anggota lain juga.
Aku terus mengamati permainan disana. Sesekali kuteguk
teh melatiku dengan sedotan merah yang dicelupkan di gelasku.
Hingga cowok berkacamata lewat begitu saja di keramaian
pertandingan tarik tambang itu.
Ia tersenyum. Sungguh!
Kornea matanya persis mengarah padaku, walau aku tahu
jarak antara mataku dan matanya terpaut puluhan meter, dan terhalang oleh rintik-rintik
hujan. Lensa kacamatanya tampak berembun. Seragam yang ia kenakan masih sama
seperti kemarin. Senyumnya terus mengambang, hingga 7 detik kemudian, ia
menghilang—lagi.
Dan aku benci hal ini. Benar-benar benci.
xx
“Eny, sendirian
aja?” seseorang tiba-tiba menyapaku.
Rambutnya hitam berkilau. Baju yang dikenakannya; lengan
panjang dengan campuran warna biru langit dan abu-abu menunjukkan bahwa ia anak
kelas X-7. Bagian bawahnya ditutupi dengan rok putih dan sepatu Neosack
berwarna abu-abu. Ia tersenyum padaku.
Tunggu dulu. Dia siapa?
“Oh, iya. Kenalkan, aku Dhera, pacarnya Raka. Aku.. boleh
duduk disamping kamu?” gadis itu mengulurkan tangannya.
Hah? Jadi si Raka punya pacar?
Mati aku. Jangan bilang cewek ini mau nagih semua yang
udah dibeliin Raka buat aku. Ya Tuhan, aku butuh bantuanmu..
“Eny?”
“E..eeh iya, silahkan duduk, Dher..a,” ucapku
terbata-bata. Ku geser bokongku ke samping kanan, memberikan tempat untuk
permaisuri Raka. Awas aja tuh anak, kenapa sih dia nggak bilang-bilang kalau
udah punya pacar? Aargh!
“Nggak usah tegang gitu kali, En. Aku nggak mau nagih
utang, kok,” Dhera terus tersenyum padaku. “Bu Esti, pesan lemon tea-nya satu ya,” ucapnya lagi.
Eh?
“Aku bisa baca pikiran orang lain, dari matanya,” terang
Dhera. Ia menepuk pelan pundakku, dan masih saja tersenyum. Si Raka pake jimat
apa sih, kok Dhera mau sama dia. Cewek ini ramah banget. Lah, Raka? Udah sok
keren, sok jual mahal lagi. Tapi emang sih, dia baik banget. Kalau nggak ada
Raka, aku nggak bakalan kenal sama yang namanya gratisan.
Aku termenung. Hanya mengulas senyum. Nggak tau harus
ngomong apa. Andai aku cowok, daritadi mungkin aku udah ileran.
“Kamu, bisa lihat dia?”
Dhera ngomong lagi. Alisku mengernyit.
“Ya?”
Dhera mencondongkan badannya sedikit ke arahku. Seperti
ingin membicarakan sebuah rahasia. “Itu En, cowok berkacamata.”
Alisku semakin mengernyit. Cowok berkacamata?
“Tadi Raka cerita, katanya kamu pernah liat cowok
berkacamata pakai baju batik. Iya?”
Sudah bisa kutebak jalan pertanyaan Dhera sedari tadi.
Yang menjadi pertanyaan bagiku, kenapa ia bertanya soal itu?
AH! Apa Dhera kenal kali ya, sama cowok itu?
Senyumku jelas saja langsung mengambang menyimpulkan hal
itu. “Iya Dher, iya! Kamu kenal sama dia? Tadi baru aja aku liat dia lagi.
Tapi, seperti kebiasaannya, dia menghilang. Kayak hantu. Menyebalkan,” aku
kembali mengingat kejadian tadi, sembari meneguk teh melatiku yang sudah ½
gelas. Air mukaku berubah menjadi masam. Sekaligus.. kecewa.
Dhera tersenyum lagi. Namun kali ini, senyumnya beda.
Tampak iba.
“Ya mau gimana lagi, En. Dia memang hantu.”
HEI!
Kutepis meja panjang dihadapanku dan berkali-kali
mengeluarkan dahak lantaran tersedak mendengar ucapan Dhera. Jelas saja tersedak
gini, masa iya dua kali ini aku udah lihat hantu!
“Maaf ya, En, kamu jadi kaget gini..” ucap Dhera sembari
mengulurkan tisu padaku.
Kuambil tisu dari tangan kanan Dhera, membersihkan baju
hijau muda yang kukenakan dari tumpahan teh melati. Kutenangkan diri sejenak,
mencerna baik-baik apa maksud pernyataan Dhera.
Sayangnya, hasilnya nihil. Aku benar-benar nggak ngerti.
“Dhera, bisa jelasin secara rinci? Aku..”
“Hanya segelintir orang yang bisa melihatnya. Setahuku,
di sekolah ini hanya Aku, Kakak yang sedang memegang sempritan disana, dan ..
kamu.” Jari telunjuk Dhera mengarah pada tiap orang yang ia sebutkan. Pertama
pada dadanya, lalu ia menunjuk ke arah kak Safwan, dan terakhir, ke arahku.
Tunggu dulu. Kak.. Safwan?
“Namanya kak Afwan. Dia kakak tiri dari kak Safwan.
Umurnya terpaut 15 tahun. Wajah mereka tampak sangat beda, karena dilahirkan
dari rahim yang berbeda. Tapi Ibu kak Afwan baik banget, En. Walau menjadi yang
pertama dan terlupakan, ia tetap sayang pada ayah dan ibu kak Safwan,” tutur
Dhera. Aku benar-benar serius mengikuti jalan ceritanya.
Dhera menghembuskan nafas, lalu kembali bercerita. “pada
hari yang bersamaan, dan di musim hujan, kak Afwan dan ibu kak Safwan meninggal
dunia. Kak Afwan kecelakaan saat ia disuruh membeli tambang untuk keperluan
porseni. Dulu, kak Afwan pengurus OSIS sekolah kita. Dan ia terkenal banget
soal rajinnya. Sedangkan ibu Kak Safwan tewas saat melahirkan kak Safwan. Jadi,
sekarang kak Safwan tinggal bersama ayah.. dan ibu dari kak Afwan.”
Aku beku. Lenganku kaku. Kutatap kembali kak Safwan yang
terlihat bahagia menjadi wasit di ujung sana. Di balik tawanya, aku baru tahu
ia punya kisah sedih dalam lajur hidupnya.
Tapi aku pikir, semua orang pasti punya kisah
menghanyutkan seperti itu.
Dhera hendak bertutur lagi. “Aku nggak tahu sekarang,
mungkin saja sampai saat ini Kak Safwan masih belum tau tentang ibunya. Tapi,
tentang saudaranya, ia jelas tahu. Saudaranya, bukan saudara tirinya.”
“Loh? Jadi.. cerita itu..”
“Ah, kamu pasti mengira kak Safwan menceritakannya
padaku, ya? Tidak, En. Ibuku yang menceritakannya padaku. Ia dekat sekali
dengan ibu kak Afwan. Wajar sih, soalnya dulu kakakku pernah pacaran dengan kak
Afwan.”
Okesip, cerita apa lagi ini?
“Hihi, kalau yang itu nggak usah aku ceritain, ya.
Privasi kakak aku,” si Dhera tau aja aku penasaran. “kak Afwan sudah nggak ada.
Tapi, ia selalu berusaha membuat kita, orang-orang sekelilingnya agar nggak
lupa sama dia,” tutur Dhera lagi. Kali ini, matanya berkaca-kaca.
“Orang-orang.. sekelilingnya? Tapi kan aku.. aku bahkan
nggak kenal dia.” Ucapku, sambil meneguk teh melatiku lagi yang belum juga
habis.
“Tapi, kamu kenal sama kak Safwan. Dan kak Safwan, sayang
sama kamu. Dan kak Afwan pengen tahu, siapa adik kesayangan kak Safwan saat
ini, hihi.”
Eh?
“Eny, aku duluan, ya. Raka kayaknya udah mau pulang,
hehe. Oh iya, soal kak Afwan.. jangan tanyain siapa-siapa ya. ” Dhera segera
beranjak dari duduknya, dan melangkahkan kaki keluar.
Tapi, belum sampai sepersekon detik, ia berbalik lagi.
“Oh iya. Kamu hanya bisa melihat kak Afwan saat musim
hujan. Saat mentari bersinar, ia nggak ada. Karena menurutnya, terkadang,
sesuatu yang bersinar belum tentu bisa dikenang dan dipertahankan. Tidak semua
yang bersinar disukai banyak orang. Terkadang, orang-orang lebih memilih
menjadi gelap, karena dari gelap, mereka belajar bagaimana caranya mereka
bersinar. Itu kata-kata terakhir kak Afwan sebelum meninggalkan kakakku, dan
semua orang terdekatnya.”
Dhera pun berlalu; meninggalkanku yang lagi-lagi harus sendiri.
Tapi, setelah meninggalkanku, aku jadi punya cerita baru.
Yang harus kuceritakan pada Aswir, teman yang selalu sedia mendengar
curhatanku.
xx
Aku mengerti sekarang.
Soal kak Afwan, soal hujan, dan semua yang menjadi
pertanyaanku detik ini.
Kak Afwan menampakkan bayangnya padaku, seperti sebuah
peringatan untukku untuk berhenti membenci sang hujan; salah satu ciptaan Tuhan
yang paling indah. Sekaligus, pengen tahu juga siapa adik kesayangan kak Safwan
sekarang—ekhem, kalau yang opsi kedua aku tahunya dari Dhera, hehe.
Seperti kata kak Afwan, semua yang bersinar belum tentu
bisa dipertahankan. Ya. Matahari tidak selamanya bersinar. Ada saatnya awan
akan kelam, mendatangkan petir dan membuat matahari bersembunyi. Dan turunlah
hujan.
Dari sang hujan itulah, kita belajar dan berusaha mencari
sesuatu yang bersinar. Ya. Mengharapkan terbitnya lagi matahari.. dan indahnya
pelangi. Gelap lalu bersinar terkadang lebih indah dibanding bersinar duluan.
Hujan lalu muncul matahari dan pelangi lebih indah dibanding hanya bisa
menikmati matahari tanpa pelangi.
Sepertinya, kak Afwan sangat berpengaruh dalam
kebencianku terhadap hujan. Berkatnya, ia membalik kebencianku tigaratus
enampuluh derajat menjadi cinta.
Saat ini, aku benar-benar menyukai hujan. Aku bahkan mencintainya.
Terimakasih, Tuhan!
Dan, terima kasih kak Afwan.
xx
Hari tak seperti biasanya.
Kali ini, terik matahari-lah yang menyambutku di pagi
hari. Wajah kusamku, iler disekitar bibir merah mudaku, kotoran mata yang
bertumpuk-tumpuk di korneaku.. semua teralihkan oleh sinar mentari yang tau-tau
menyambutku pagi ini. Oh iya, Jum’at. Porseni hari terakhir. Aku harus
bergegas!
Kutarik handuk biru muda yang menggantung di belakang
pintu. Lalu membuka tirai jendela, menikmati indahnya pagi hari kali ini. Tanpa
hujan, tanpa petir, tanpa guntur. Tanpa harus mendengar perkelahian antara
rintik hujan dan seng.
Tapi, apalah daya ini.
Aku memang benci hujan. Aku benar-benar sangat
membencinya. Tapi, benar kata orang, semakin kamu benci, semakin kamu cinta.
Dan saat ini, aku benar-benar telah jatuh cinta pada
hujan.
Aku.. merindukannya.
END
No comments:
Post a Comment